Thursday, February 25, 2010

pity pity

Pernahkah anda mendengar cerita macam ini: “papi kalau aku dibeliin mainan baru, les-nya bakal tambah rajin deh. Beliin ya pi. Please-please”. Padahal jelas-jelas tidak ada korelasi antara mainan baru dengan les. Les ya les, mainan ya main. Kedua, sepertinya yang si anak yang merengek-rengek ini gaul abis, jaman gw ga ada merajuk pake kata ‘please-please’, yang ada langsung ngegerung di lantai ga karuan. Rupanya anak-anak jaman sekarang lebih canggih dan pake teknik diplomasi dulu (sebelum keluar senjata terakhir, guling-guling di lantai juga).

Lantas si papi karena sayang sama anak, atau entah ga mau pusing dengan rajukan anak (haha so pastinya sayang dong sama anak sendiri), akhirnya membelikan mainan yang diinginkan oleh si anak. Si anakpun sebenarnya baru melihat mainan itu sepuluh menit yang lalu, yang dia tahu mainan itu lucu. Dia harus punya, tanpa menyadari apa sih fungsi mainan itu untuknya. Setelah dibelikan mainannya, sesampainya di rumah hanya dimainkan selama satu jam lalu dia bosan dan mulai merengek mainan baru. Janji ngelesnya lebih rajin juga ga dia inget lagi. tapi yang dewasa mungkin maklum, namanya juga anak-anak.

Nah, ternyata kisah ‘merajuk’ demi mendapatkan barang dengan janji-janji palsu masih berlaku sampai sekarang. Namun kisahnya berubah, sekarang yang merajuk bukanlah si anak kecil, melainkan diri kita sendiri (baca: saya), daaan kemanakah saya merajuk dan membuat janji-janji palsu? Ya ke diri saya sendiri. Ouch.

Begini kisahnya, pada suatu hari di hypermarket saya melihat sebuah benda bernama booklite. Jeng jeng!

Apa itu booklite? Terjemahan gampangnya ialah senter buat bantu membaca supaya lebih terang. Cocok sekali dengan keadaan di kamar saya dimana lampu kamar remang-remang, sehingga dibutuhkan cahaya tambahan agar mata tidak cepat lelah ketika membaca.
Pada pandangan pertama, saya menyadari, ada sesuatu yang special pada booklite itu. Sesuatu yang bisa membuat hari-hari membaca saya penuh warna (bukan penuh warna sih, tepatnya lebih terang). Lantas saya pulang dari hypermarket tersebut tanpa membeli barang tersebut namun pikiran saya masih ‘nyangkut’ di booklite tersebut.

Akhirnya tidak lama kemudian saya ke hypermarket lainnya dan memutuskan untuk membeli booklite tersebut karena (1) saya kepikiran terus (2) saya berjanji akan semakin rajin membaca buku dengan adanya booklite tersebut. Karena rasa sayang saya pada diri saya, dan demi melampiaskan rasa penasaran saya, saya rogohlah kocek saya sebesar hampir 70ribu rupiah demi booklite tersebut (walaupun barang made in china tersebut tidak mulus-mulus amat, plastiknya masih terasa kasar dan kurang rapi).

Lantas setelah booklite sudah di tangan, apakah saya semakin rajin membaca buku? Ah kawan, kalau kau berpikir saya akan semakin rajin baca buku, berarti kau kurang memperhatikan paragraph-paragraf awal saya di atas.

Saya semangat menggunakan booklite pada hari-hari pertama saja. Janji hanyalah tinggal janji. Lebih ironis ketika kita mengetahui bahwa yang berjanji ialah diri kita sendiri dan kita mengingkarinya sendiri. Kita termakan perasaan ‘cinta pada diri sendiri’ yang ujung-ujungnya memanjakan diri kita untuk mendapatkan yang kita mau tanpa adanya komitmen untuk melakukan janji-janji kita.

Seperti janji akan rajin ke gym ketika sudah mendaftar dan membayar iurang nge-gym selama satu tahun ke depan (tiga bulan pertama masih semangat). Seperti janji akan diet ketika sudah membeli baju yang ketat (daaan ujung-ujungnya baju itu menumpuk di lemari). Seperti janji akan mengikuti audisi Indonesian Idol kalau sudah melakukan nose job (apa hubungannya?)

Rupanya rasa sayang yang seperti orang tua kepada anaknya itu diterapkan ke diri kita sendiri. Namun bedanya ketika dulu mungkin ada yang menegur, yakni orang tua kita yang mengerem kita agar tidak semena-mena pada janji kita. Sekarang, ketika kita bertanggung jawab sendiri ke diri kita dan kita yang harus menagih janji-janji tersebut, sering kali kita bersikap mengasihani diri sendiri, bukannya mengasihi. Waspadalah kawan, jika anda mulai mengasihani diri sendiri. Mulailah sadar bahwa anda ialah orang dewasa yang harus menentukan arah anda sendiri. Ingatlah komitmen awal anda!

Sekarang ini saya dan booklite saya mulai mengalami perbaikan hubungan. Sekarang booklitenya hampir setiap hari saya gunakan untuk membaca, walaupun hanya membaca kurang dari lima menit saja. Tapi setidaknya saya berusaha untuk mewujudkan janji saya di awal ketika saya membeli booklite ini yakni: meningkatkan waktu membaca saya. *YAY! I feel like I deserve a peace nobel, peace with myself* Jadiiii jika ada janji-janji ke diri anda yang sudah anda lupakan, tolonglah, sadarlah, jika anda benar-benar mengasihi diri anda, penuhilah janji tersebut. *wink*

Monday, February 15, 2010

The red little thing called ‘angpao’

Gong xi ya gong xi… tahun macan telah tiba. Yihaaaaa… jadi serasa pengen muter-muter rambut dan kepala ala trio macan (plus ditambah kaki ngengkang hahaha jijay). Semoga tahun ini macannya bersahabat dengan kita semua (apaan coba?). usaha lancar, rejeki tiada putus mengalir seperti pepatah ‘nian nian you yu’, enteng jodoh (AMIIIIN! *kenceng gila tereaknya*), trus kita diberikan kesehatan untuk menghadapi semua tantangan yang ada.

Nah… bagi para lajang, apa yang paling ditunggu-tunggu saat imlek? Hohoho… kalo menurut saya: angpao. Ketauan banget ya saya matrealistis? Hahaha. kaga kok, saya hanya realistis.


Budaya bagi-bagi angpao memang sudah tradisi dan dari kecil saya sudah ‘terbiasa’ menerima angpao hahaha. namun tahun ini rasanya beda banget. Kalau dulu ketika masih sekolah, dapat angpao senangnya sebatas: mau diabisin untuk apa uang angpao ini? Pengen beli ini-pengen beli itu dsb. Tapi sekarang ketika sudah kerja dan tahu betapa sulitnya cari uang, tahu betapa banyaknya usaha dan tenaga yang diperlukan untuk mendapatkan uang sebesar itu, rasanya dapat angpao nikmat sekali. Sebagai perumpamaan: anda kerja setengah bulan hampir setara dengan ngider-ngider satu hari ke rumah saudara sambil mengepalkan tangan, pasang senyum plus dapat makan dan minum gratis lagi!

Benar-benar deh, rejeki angpau dari pohon mei hua runtuh nikmat sekali! Ihiy!

Thursday, February 11, 2010

Happiness (again)

Kayanya yang satu ini udah sering banget eike tulis. Tentang kebahagiaan.
Nah kemarin ini saya habis membaca bukunya Ajahn Brahm yang berjudul ‘si cacing dan kotoran kesayangannya’, bisa anda lihat di Gramedia di rak buku best seller.
Yang paling membuat saya terkesan ketika membaca awal-awal halaman buku ini ialah kalimat beliau yang menyatakan: "Yang paling penting bagi saya ialah kebahagiaan saya sendiri dan kebahagiaan orang lain. Tetapi, apa yang saya temukan setelah bertahun-tahun hidup sebagai petapa? Saya tidak mampu lagi membedakan antara kebahagiaan orang lain dan kebahagiaan saya sendiri."

Pada saat saya membaca kalimat tersebut untuk pertama kalinya, saya agak tidak percaya, sampai-sampai saya membaca ulang kembali kalimat tersebut. Mungkin kalo bisa digambarkan secara hiperbolis dengan kartun Tom & Jerry, saya sudah seperti si kucing yang bola matanya mencotot keluar dengan rahang yang sudah jatuh ke bawah lantai akibat ketidakpercayaan.

Menurut saya pribadi, kalimat ini maknanya dalam banget dan tidak sembarang orang bisa mengucapkan kalimat macam ini. Bahkan saya rasa orang-orang yang suka ngibul sekalipun akan ketakutan kalau disuruh ngibul dengan mengucapkan kalimat macam ini. Seperti kalimat suci yang hanya orang yang memang hatinya tulus yang punya kemampuan untuk mengucapkan kalimat ini. Hahaha. mungkin agak berlebihan, tapi saya rasa memang kalimat tersebut kuat sekali dan punya makna yang dalam sekali. Sampai sekarang saya masih geleng-geleng kalau membaca kembali kalimat tersebut. Bagaimana bisa seseorang dengan sebegitu tulusnya bisa ikut merasakan bahagia terhadap kebahagiaan orang lain? Mungkin kalau di Alkitab sama dengan kitab taurat yang ‘kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri’.

Jujur secara pribadi saya suka sirik sama kebahagiaan orang lain. Mungkin itu sebabnya saya kurang bahagia. Sirik, iri hahaha. tidak ada kedamaian dalam hidup ini. Aih. Alangkah ironisnya hidup manusia, ketika kita jelas-jelas tahu bagaimana cara mencapai kebahagiaan itu, kita justru menyangkalinya. Hahaha. alangkah sulitnya turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain. Setidaknya kau tahu teorinya, mari sekarang kita kuatkan hati untuk prakteknya (walaupun sulit, tapi tidak mustahil).

feb 2010

What’s so special about February?

Valentine’s day? Err… seumur hidup ga pernah ngerayain, kecuali jika anda menganggap makan coklat pada tanggal 14 Februari ialah sebuah bentuk perayaan.

Lalu how about sincia? Iya… bolehlah. Saya merayakan datangnya uang saku tambahan hanya dengan mengepalkan kedua tangan sambil berkata ‘gong xi-gong xi’. Dengan energi yang dikeluarkan versus hasil yang didapatkan, rasanya wajar kalau saya anggap sincia hari yang menyenangkan.

Lantas apa lagi yang special di bulan February? Err…. Err… rrr… saya speechless, berarti ga ada lagi dong?

Seperti orang bijak berkata, harusnya setiap hari kita anggap special mengingat kita masih diberikan kesempatan untuk melewati satu hari lagi (dibanding orang-orang yang meninggal kemarin *rada horror ya bo*).

Ya sudah kalau begitu, mari lanjutkan aktivitas kita di bulan February ini, walopun agak telat ya bo ngepost tulisannya di tanggal sepuluh dari dua puluh delapan hari di bulan February. Hmmm… berarti lima belas hari lagi gajian. Hohohohoho.